ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN IMPOR BERAS DAN KEBERADAAN TENGKULAK TERHADAP HARGA GABAH DI INDONESIA[sebuah latar belakang]*

*oleh: hariyanto Hariyanto Jurusan EP FE Universitas Sebelas Maret Surakarta

Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas yang jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa. Luas lahan untuk pertanian sekitar 107 juta hektar dari total luas daratan Indonesia sekitar 192 juta hektar,  tidak termasuk Maluku dan Papua, sekitar 43,19 juta hektar telah digunakan untuk lahan sawah, perkebunan, pekarangan, tambak dan ladang, sekitar 2,4 juta hektar untuk padang rumput, sekitar 8,9 juta hektar untuk tanaman kayu-kayuan, dan lahan yang tidak diusahakan seluas 10,3 juta ha. Pemerintah dalam kaitannya dengan program RPPK (Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan), telah bersedia menyediakan 15 juta hektar untuk lahan pertanian abadi. (Republika, 25/2/2008) Sehingga sebagian besar dari penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, khususnya petani padi. Karena sebagian besar penduduk Indonesia makanan pokoknya adalah beras.

Karena keberadaaanya sebagai makanan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia, beras memiliki sejarah panjang dalam kebijakan ekonomi politik Indonesia. Pada masa sebelum kemerdekaan, campur tangan pemerintah kolonial Belanda untuk menjamin keberadaan beras dengan harga yang terjangkau selalu dilakukan. Pemerintah kolonial Belanda mengintervesi kecukupan pasokan beras dengan harga terjangkau bagi komoditi ini melalui berbagai cara. Pada sisi stabilitas harga, pemerintah kolonial dari waktu ke waktu membuka keran impor bila dibutuhkan dan mentransportasikannya lebih lanjut pada daerah kepulauan yang membutuhkan, serta mendirikan satu lembaga yang berperan menstabilisasi harga beras pada tahun 1939, yang sesungguhnya cikal bakal dari BULOG saat ini. Setelah kemerdekaan dan sampai saat ini pun beras terus menjadi komoditi sosial politik strategis bangsa Indonesia. (M Ikhsan Modjo, Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall: 2006)

Dari penjelasan di atas, tidak mengherankan kalau pekerjaan sebagai petani paling besar jumlahnya. Sampai pada tahun 2003 saja jumlah petani di Indonesia  telah mencapai 25,6 juta rumah tangga. Tetapi, sayangnya dari jumlah tersebut, 13,7 juta rumah tangga adalah petani gurem (petani yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha). (Pande Radja Silalahi dalam Suara Karya, 11/01/2006) Sampai saat pertanian masih menjadi sektor utama dalam perekonomian nasional. Dengan hal-hal tersebut, sebenarnya profesi petani sangat cocok dan menguntungkan bagi penduduk indonesia.

Namun, kenyataannya hal tersebut sulit terjadi di Indonesia. Setiap panen justru yang terdengar adalah keluhan petani soal harga gabah yang selalu murah. Jangankan untung, bisa mengembalikan biaya penggarapan sawah saja sudah bersyukur. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mampu menjaga berlakunya harga dasar yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 32/1998, sehingga petani menerima harga gabah jauh di bawah harga dasar. Tujuan dari kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) adalah agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun ternyata hal itu tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah.

Dengan keberadaan tengkulak, seharusnya bisa membantu para petani. Karena petani tidak perlu susah-susah memasarkan padinya. Para tengkulak akan mendatangi mereka dan membeli hasil panenannya. Dengan begitu para petani bisa terbantu masalah penjualan, karena dengan hasil panen yang tidak terlalu besar tidak mungkin bagi para petani untuk memasarkan sendiri hasil panennya. Selain itu tengkulak juga sangat mengutungkan para pengusaha padi mitra BULOG dan BULOG itu sendiri, karena sistem distribusi padi menjadi lebih efisien. Namun walaupun demikian, ternyata para tengkulak ini bisa dan sering menciptakan harga sendiri sesuai keinginan mereka. Mereka membeli gabah para petani dengan harga yang sangat rendah dibawah HPP yang telah ditetapkan pemerintah. Sehingga yang terjadi, bukannya membantu para petani tetapi malah semakin memperburuk kondisi perekonomian para petani.

Saat ini HPP (Harga Pembelian Pemerintah) adalah Rp 2.000,- tetapi di tingkat tengkulak, gabah hanya dihargai Rp 1.600,- sampai Rp 1.800,- (Jawa Pos, 25/02/2008). Namun sekarang ini Pemerintah telah resmi menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) atas gabah dan beras melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 1/2008 tentang Kebijakan Perberasan yang sekaligus merevisi Inpres No 3/2007. Berdasar Inpres tersebut, HPP atas gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp2.200 per kg (naik Rp200), dan harga gabah kering giling (GKG) di gudang Bulog menjadi Rp2.840 per kg (naikRp240 per kg). Untuk HPP beras di gudang Bulog dinaikkan Rp300 menjadi Rp4.300 per kg. Harga pembelian gabah dan beras di tiga luar kualitas tersebut ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pertanian.

Walaupun demikian, dengan berbagai alasan, para petani masih tetap memilih menjual gabahnya kepada tengkulak daripada kepada KUD atau badan-badan yang telah ditunjuk pemerintah.

Dalam hal ini, BULOG yang seharusnya bertugas dalam pembelian gabah hasil panen dari petani ternyata kurang menjalankan fungsinya. Selama ini, pemerintah melalui BULOG membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar (atau tengkulak), yang bertindak sebagai oligopolis pasar. Jumlah penjual yang sangat terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah/beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang.

Ilustrasi menarik tentang kekuatan oligopoli pedagang beras ini dengan sangat gamblang dijelaskan dalam satu tulisan Deputi Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurthi, di Harian Republika (24/01/2006). Menurut Bayu, Bulog hanya mampu menyerap sekitar 10 ton dari surplus yang dikabarkan mencapai 2,7 juta ton pada tahun 2005. Selebihnya ditahan oleh para pedagang untuk berbagai alasan.

Jatuhnya harga gabah lokal itu juga tak terlepas dari membanjirnya beras impor dan selundupan di berbagai daerah karena tak ada pengamanan yang baik. (Suara Merdeka, 21/09/2002). Kebijakan impor harusnya ditempatkan sebagai residual atau menutupi defisit kebutuhan beras dalam negeri. Tetapi kenyataannya, ketika musim panen raya tiba beras impor yang lebih murah membanjiri tanah air, sehingga harga gabah pun turun drastis.

Mulai dari tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160 ribu ton beras per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/ pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas 2 juta ton pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras. (Supadi dalam M Ikhsan Modjo, Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall: 2006)

Masalah besar muncul kembali ketika harga pasar naik, konsumen kebingungan, tetapi petani pun ikut bingung karena kenaikan harga tidak berimbas pada kenaikan harga gabah. Kenaikan harga di tingkat konsumen ternyata tidak sebesar kenaikan harga jual mereka ke tengkulak/distributor. Misalnya naik Rp 500 di konsumen, paling hanya naik Rp 100 di sisi petani. Belum lagi karena harga pupuk dan alat pertanian tiba-tiba juga ikut naik, seakan tidak rela membiarkan petani menerima kelebihan dan berkah. Indikasinya adalah harga tidak diatur oleh supply (petani) dan demand (konsumen), karena jelas mekanisme pasarnya terdistorsi sekali. (Ekonomi-Nasional, 03/01/2007)

Uraian-uraian di atas merupakan hal-hal yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian ini. Dimana banyak sekali fakta-fakta yang menggambarkan kehidupan para petani di Indonesia yang tak kunjung membaik. Karena telah kita ketahui bersama, bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani, makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah beras, maka pertanian khususnya padi tidak bisa lepas dari perhatian kita dan pemerintah. Dimana dapat kita katakan juga bahwa petani adalah tulang punggung bangsa. Tetapi sepertinya pemerintah kurang memberikan dukungan dan bantuan terhadap hal ini, dan seolah menutup mata dengan masalah ini.

Penulis ingin lebih jauh mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dengan harga jual gabah di tingkat petani tak pernah meningkat/baik, walaupun harga beras di pasar meningkat. Kemudian, sejauh mana keberadaan tengkulak dan kebijakan impor yang kurang berpihak kepada petani berpengaruh terhadap rendahnya harga jual gabah di tingkat petani. Sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini maka akan tampak dan jelas apa saja yang menjadi masalah-masalah dalam pertanian di Indonesia dalam pembentukan harga jual gabah, yang pada akhirnya akan diperoleh solusi-solusi apa yang kiranya dapat mengatasi masalah tersebut. Dengan latar belakang di atas maka penulis membuat penelitian ini dengan memberi judul “Analisis Pengaruh Kebijakan Impor Beras Dan Keberadaan Tengkulak Terhadap Harga Gabah Di Indonesia.”