BRAIN DRAIN, MASALAH BESAR BAGI NEGARA BERKEMBANG*

*Oleh : Hariyanto Jurusan EP FE Universitas Sebelas Maret Surakarta

ABSTRAK

Migrasi internasional kini semakin menjadi permasalahan yang menyita perhatian banyak pihak. Transisi pada ilmu pengetahuan berbasis ekonomi menciptakan lebih banyak pangsa pasar yang terintegrasi bagi mereka yang mempunyai bakat dan keahlian yang tinggi. Bakat dan keahlian tersebut menjadi aset yang sangat berharga dalam percaturan ekonomi dunia. Akibatnya, gelombang brain drain dari negara-negara berkembang semakin menguat. Munculnya diaspora yang sangat luas adalah sebuah konsekuensi dari perburuan terhadap kesempatan terbaik bagi negara berkembang.

Paper ini berusaha mengidentifikasi fenomena brain drain yang umumnya terjadi pada negara-negara berkembang. Secara khusus, paper ini akan menguraikan problematika dan tantangan negara berkembang dalam pengembangan SDM dan sarana/fasilitas terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebabkan oleh brain drain. Pada akhir tulisan, penulis menyuguhkan pola pengembangan SDM dan pengadaan sarana/fasilitas guna mencegah dan mengatasi  timbulnya efek negatif dari brain drain dengan melakukan studi analisa terhadap keberhasilan India dalam mewujudkan reversed brain drain. Sehingga diharapkan dengan terjadinya reversed brain drain, maka pembangunan ekonomi negara berkembang dapat berjalan lancar.
Kata Kunci: Brain drain, Sumber Daya Manusia, Pengembangan Fasilitas, Keberhasilan India.

1. Pendahuluan

Sejarah melukiskan bahwa pasca meletusnya Perang Dunia II telah meyebabkan para tenaga ahli dan terdidik dari berbagai belahan dunia, terutama Eropa, bermigrasi dari satu negara ke negara lainnya. Kemenangan yang diperoleh oleh negara-negara Sekutu membawa para imigran ahli untuk menjadikan negara tersebut sebagai pelabuhan ilmu. Berkisar pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, bermigrasinya para tenaga ahli dari negara berkembang seperti ke negara maju semakin meningkat. Hal ini terjadi terutama ke negara-negara yang memberikan banyak keunggulan dan kesempatan (land of opportunity).

Dan akhir-akhir ini semakin banyak profesional (orang-orang berpendidikan tinggi, berbakat dan terlatih) terbaik negara-negara berkembang hijrah atau meninggalkan negaranya yang miskin ke negara-negara maju (negara-negara industri) seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Mereka itu adalah para ilmuwan, informatisi (ahli ICT), arsitek, insinyur, akademi, dokter, dan para ahli lainnya. Peristiwa ini lebih dikenal dengan istilah brain drain. Dimana peristiwa Brain drain ini merupakan kerugian besar bagi negara yang ditinggalkan.

Brain drain ini hampir sama dengan peristiwa aglomerasi. Aglomerasi adalah keadaan dimana penduduk di suatu negara terpusat di daerah perkotaan, terutama penduduk-penduduk yang berkualitas. Tujuan mereka pindah ke kota adalah karena prospek ekonomi yang menjanjikan. Sama seperti brain drain ini, dimana orang-orang yang pandai akan pindah ke negara maju, dengan tujuan yang salah satunya sama dengan aglomerasi tadi. Sehingga banyak orang-orang pandai terpusat di negara-negara maju. Perbedaanya hanya kalau aglomerasi terjadi hanya di suatu negara, yaitu antar daerah saja. Sedangkan brain drain terjadi di seluruh dunia yang meliputi banyak negara, yaitu baik negara maju maupun negara berkembang.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh UNCTAD, dapat diketahui bahwa dokter, informatisi (ahli ICT), insinyur serta ahli-ahli liannya dari negara-negara miskin setiap tahun terus mengalir ke negara-negara makmur dan maju. Riset ini dilakukan setiap tahun yaitu di 50 negara kurang maju, antara lain 8 negara Asia, 33 negara Afrika, 8 kepulauan dan Haiti. Terlihat bahwa brain drain alias human capital flight dari negara-negara di kawasan itu terus meningkat. Pada 1990 jumlahnya mencapai 16,5%. Dan sekarang jumlah itu meningkat menjadi 21,4%. Jumlah brain drain tertinggi berasal dari Haiti. Negeri itu kehilangan 80% sumber daya manusia berpendidikan tinggi dan terampil.

Di Indonesia, walaupun hingga saat ini belum terdapat data empiris, namun diperkirakan telah mencapai 5%. Jumlah ini dapat kita katakan cukup signifikan di tengah terpuruknya SDM Indonesia yang disertai dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan yang hanya menyisihkan 11,8% dari APBN. Kondisi ini diperparah dengan alokasi anggaran riset dan teknologi yang tidak pernah mencapai angka minimal 1% dari produk domestik bruto. Padahal, menurut analisa UNDP, angka minimum tersebut merupakan anggaran minimum untuk terciptanya kemakmuran suatu bangsa.

Sedangkan menurut Aaron Chaze (2007), yang melakukan penelitian di 61 negara berkembang, dimana sebagian besar para braindrainer memilih bermigrasi ke negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), terutama Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Perancis, dan Jerman. Saat ini terdapat sebanyak 50.000 (5%) dokter India yang bekerja di negeri Paman Sam serta ratusan ribu manajer, teknisi, dan ahli komputer bekerja di Microsoft, McKinsey & Company, Citigroup, dan berbagai firma teknologi informasi di kota-kota metropolitan Amerika.

UNDP memperkirakan, India kehilangan sekitar dua miliar dollar AS per tahun akibat migrasi teknisi dan ahli komputer, yang diproyeksikan mencapai 2,2 juta orang sampai akhir tahun 2008 nanti. Beruntung, Indonesia termasuk yang paling rendah, yakni kurang dari 5% dari golongan terdidik yang bermigrasi ke negara-negara maju.

Dari kawasan Afrika, aliran migrasi paling banyak dari Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Zimbabwe, Somalia, Nigeria, dan Etiopia, yang sekitar 60% juga berpendidikan tinggi. Bahkan sejak 20 tahun terakhir, Etiopia kehilangan sekitar 75 persen tenaga-tenaga ahli, seperti dosen, insinyur, dan dokter akibat brain drain.

Sungguh ironis, lebih mudah menjumpai dokter asal Etiopia di Chicago ketimbang di Addis Ababa, bahkan sekitar 21.000 dokter asal Nigeria berpraktik di seluruh penjuru Amerika. Lebih menyedihkan lagi, Afrika harus mengeluarkan dana lebih dari empat miliar dollar AS per tahun untuk membayar sekitar 150.000 expatriate profesional yang bekerja di benua miskin itu.

Adapun imigran dari Afrika Utara dan Timur Tengah yang paling banyak berasal dari Maroko (satu juta), Aljazair dan Iran (masing-masing 500.000), serta Mesir, Sudan, Tunisia, Irak, Suriah, Lebanon, Jordania (masing-masing 250.000). Sekali lagi, amat memilukan mengingat mayoritas para imigran itu adalah anak-anak muda terpelajar lulusan universitas.

2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Brain Drain

Faktor penyebab terjadinya brain drain ini seringkali dilihat dari model bipolar yaitu faktor penarik dan faktor pendorong. Faktor penarik yaitu faktor yang datang dari negeri tujuan, yaitu:

  1. untuk memperoleh prospek ekonomi dan kehidupan yang lebih baik, yaitu gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja dan hidup yang lebih baik, dan perspektif karir yang terjamin.
  2. fasilitas yang ditawarkan juga sangat kompetitif, seperti fasilitas pendidikan, penelitian, dan teknologi yang lebih memadai, kesempatan memperoleh pengalaman bekerja yang luas.
  3. tradisi keilmuan dan budaya yang tinggi.
  4. agen di luar negeri yang sering memberikan informasi yang sangat bagus, dan lain sebagainya.

Sedangkan faktor pendorong yaitu faktor yang datang dari negeri asal, yaitu:

  1. biasanya orang-orang pintar ini tidak mau tinggal di negaranya yang masih terbelakang, karena takut tidak bisa mengembangkan ilmu dan keahliannya.
  2. dikarenakan rendahnya pendapatan dan fasilitas penelitian.
  3. keinginan untuk memperoleh kualifikasi dan pengakuan yang lebih tinggi.
  4. ekspektasi karir yang lebih baik, kondisi politik yang tidak menentu.
  5. adanya diskriminasi dalam hal penentuan jabatan dan promosi.
  6. khusus para dokter yang berasal dari Afrika umumnya ada motivasi lain, yakni menghindari risiko tinggi kemungkinan tertular HIV.
  7. ilmu atau pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki dan dikuasai ternyata tidak berguna di negara asal, sehingga tidak ada pilihan yang lebih baik selain meninggalkan negaranya.
  8. dipengaruhi faktor non ekonomi, misalnya seperti agama dan ras.
  9. tidak adanya kenyamanan dalam bekerja dan memperoleh kebebasan, mereka mengalami tekanan politik, menghindari rezim represif yang mengekang kebebasan, serta merasa tak aman akibat perang dan pergolakan politik domestik yang tak kunjung berakhir.
  10. tidak adanya penghargaan dari pemerintah, dan lain sebagainya.

Faktor penyebab ‘penarik-pendorong’ ini terkadang juga dapat dibedakan menjadi faktor penyebab obyektif-subyektif. Penyebab secara obyektif adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan kebijakan yang diberikan oleh negara asal maupun tujuan dan terkait erat dengan karakteristik negara tersebut, seperti misalnya lemahnya kebijakan terhadap tradisi keilmuan. Sedangkan penyebab secara subyektif biasanya terbatas pada motif-motif personal dari yang bersangkutan.

3. Dampak Peristiwa Brain Drain Bagi Negara Berkembang (Negara Asal)

Kalau kita mendengar kata brain drain, pasti yang terpikir oleh kita adalah sebuah peristiwa yang hanya akan mendatangkan kerugian bagi negara-negara bekembang. Dimana banyak orang-orang pintar dan ahli meninggalkan negaranya itu, yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan yang ada di negara tersebut. Memang telah kita ketahui bersama bahwa peristiwa brain drain ini membawa efek negatif yang sangat besar, terutama bagi negara asal. Namun, ternyata ada juga efek positif yang dihasilkan oleh peristiwa brain drain ini walaupun tidak sebesar efek negatif yang dihasilkan.

  1. Dampak negatif yang timbul :
    1. brain drain akan memperlemah struktur ketenagakerjaan, dimana hal ini merupakan faktor utama penghambat industri untuk maju. Sehingga pembangunan ekonomi negeri asal pun tidak berkembang.
    2. masalah dari brain drain ini seperti lingkaran setan yang mempertahankan keterbelakangan. Dimana banyak sekali negara yang kekurangan tenaga ahli, namun setelah ada tenaga yang terdidik, mereka malah pergi ke negara lain dengan berbagai alasan.
    3. semakin lebarnya jurang antara si miskin dan si kaya.
    4. brain drain memboroskan bahkan menguras uang negara asal. Banyak sekali orang-orang pintar yang dibiayai oleh negara untuk belajar ke luar negeri agar menjadi lebih ahli. Namun setelah selesai masa pendidikannya, mereka malah tidak mau kembali. Mereka diberi fasilitas oleh negara tetapi tidak mau balas budi, mereka lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri dan malah memberikan sumbangan keahliannya dalam mempertinggi pertumbuhan ekonomi negara-negara yang sudah maju. Contohnya, di Indonesia dalam 13 tahun belakangan, di UGM ada 50 orang dosen dan peneliti mengundurkan diri. Universitas jelas rugi, karena mencetak satu doktor saja butuh sekurang-kurangnya satu miliar rupiah. Padahal ada seratusan cendekiawan yang hijrah ke manca dan terbanyak di Malaysia.
    5. brain drain berarti kerugian besar pada modal sumber daya manusia. Apalagi umumnya yang diterima di luar negeri merupakan sumberdaya berkualitas. Sementara keuntungan dari brain drain berpendidikan tinggi bagi negara yang ditinggalkan sangat terbatas. Walaupun menikmati gaji tinggi, mereka umumnya minim sekali mengirim uang ke negeri asalnya dibandingkan emigran berpendidikan rendah. Ikatan mereka dengan negeri asalnya juga mengendur, karena secara umum mereka tinggal menetap (settled) di negeri baru mereka.
    6. orang-orang terbaik yang hijrah ke luar negeri pasti akan digantikan oleh para ekspatriat (dengan kemampuan yang sama) yang umumnya minta bayaran berkali lipat lebih mahal. Yang terjadi selanjutnya adalah proses inefisiensi perekonomian dalam negeri.
    7. terjadinya brain drain bagi negara asal tentunya membawa implikasi negatif yang tidak sedikit, seperti kondisi di mana kurangnya tenaga terlatih dan terdidik dari suatu negara, serta terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi yang sulit untuk diprediksi. Selain itu, brain drain dapat juga membawa pengaruh rendahnya kesejahteraan terhadap lingkungan, di mana para tenaga terdidik tersebut berasal.
  2. Dampak positif  yang timbul:

Beberapa negara berkembang kini telah mampu memanfaatkan kondisi brain drain menjadi reversed brain drain untuk kemajuan negaranya, misalnya Cina dan India, dua “macan Asia” yang mempunyai konsentrasi brain drain sangat tinggi. Brain drain juga memiliki beberapa dampak positif yang dapat meningkat pertumbuhan ekonomi negara:

    1. Alternative sumber investasi
    2. Penurunan tingkat unemployment
    3. Optimalisasi kapasitas produksi Negara
    4. Peningkatan kualitas SDM
    5. Uptodate perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi
    6. International networking. Misalnya: beberapa hasil komoditas pertanian unggulan lokal seringkali kalah bersaing dengan negara-negara lain. Produk seni dengan nilai tinggi seperti kerajinan dan seni ukir pun belum bisa berjaya di pangsa pasar negara lain. Padahal, tingkat kemakmuran ekonomi wilayah sangat bergantung kepada pendapatan dari luar melalui sektor basis (Tarigan, 2006), termasuk ekspor. Terhambatnya aliran informasi dari negara terkait dengan pangsa pasar di luar negara adalah salah satu penyebabnya. Sehingga salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi ini adalah dengan diperkuatnya jaringan networking pengusaha Indonesia yang berada di luar negeri. Melalui jaringan ini, informasi aktif kepada wilayah terkait mengenai a) pangsa pasar, b) unsur sosial-kebudayaan dan c) aspek legal dalam pengembangan usaha di negera tersebut, dapat membantu potensi sektor basis wilayah terkait untuk dapat memasarkan produk-produknya secara optimal.

Kondisi reversed brain drain yang terjadi sejak awal 1990-an tersebut, selain memacu produktivitas perekonomian negara asal, diyakini juga telah meninggalkan buah manis berupa jaringan keilmuan dan pemasaran yang kuat dan tersebar hampir di seluruh negara-negara maju yang pernah mereka huni sebelumnya. Dengan kehadiran para braindrainer, peningkatan produktivitas terbukti meledak-ledak, peluang bisnis baru terus menyeruak, kepuasan kerja meningkat, demikian pula ilmu pengetahuan melaju lebih cepat. Artinya, semakin banyak perusahaan atau negara bersaing mendapatkan orang-orang bertalenta, semakin bagus peluang para jenius itu mengaktualisasikan potensi mereka demi membangun dunia yang lebih berkualitas.

4. Belajar Dari India Yang Telah Berhasil Menaklukan Masalah Brain Drain

Wabah brain drain telah menyerang India selama lebih dari 30 tahun yang lalu. India secara rutin merupakan negara pengekspor tenaga muda yang terampil ke negara-negara maju. Dimulai pada awal tahun 1960-an, lulusan terbaik dari beberapa Indian Institute of Technology (IITs) meninggalkan India dalam jumlah yang cukup besar untuk kemudian bekerja pada Silicon Valley, Amerika Serikat. Tidak jauh berbeda, penduduk India juga bermigrasi secara tradisional ke Inggris dan Kanada. Awal tahun 1970-an, jumlah warga India yang bermigrasi ke Amerika memiliki besaran yang sama dengan mereka yang bermigrasi ke Inggris dan Kanada. Namun pada awal tahun 1990, jumlah penduduk India yang bermigrasi ke Amerika telah meningkat hampir dua kali lipat dari mereka yang pergi ke kedua negara tersebut di atas. Saat ini, komunitas India di Amerika, baik imigran maupun mereka yang terlahir di sana, merupakan komunitas dengan proposi cukup besar sehingga dianggap mewakili populasi asal Asia. Kini para profesional asal India tersebut telah menguasai sedikitnya 8.000 perusahaan di bidang komunikasi, informasi dan teknologi di kawasan Silicon Valley dengan pemasukan sebesar US$ 4 miliar ditambah dengan penyediaan lapangan kerja sebanyak 17.000 kursi.

Namun kini, fenomena brain drain di India telah berangsur sirna dan berubah menjadi reversed brain drain. Sejak akhir tahun 1990-an, para ilmuwan dan profesional India yang telah menetap di luar negeri mulai kembali ke tanah airnya. Kesempatan itu dilakukan pada masa cuti panjang ataupun di tengah masa penelitiannya dengan cara mengajar di India dan berinteraksi secara langsung dengan sesama peneliti di negara asal. Hal ini terjadi hampir di berbagai bidang pegetahuan, khususnya IT, kedokteran, dan ekonomi. Saat ini, sedikitnya terdapat sekitar seratus ribu warga negara India yang sebelumnya bekerja di luar negeri telah kembali ke negaranya secara permanen, di mana 32.000 di antaranya merupakan non-resident Indian (NRI) yang berasal dari Inggris. Hasilnya, brain drain yang dirasakan merugikan India mulai menjelma menjadi brain circulation yang membawa keuntungan secara mutual bagi India dan negara tujuan. Dalam konteks ini, Bindo Khadria menyebutnya sebagai second-generation effects of brain drain.

Terhadap kondisi tersebut di atas, Pan Mohamad Faiz menganalisa adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terciptanya pola reversed brain drain di India, yaitu: Pertama, terjadinya tansisi kebijakan pemerintah India secara gradual dari pola kontrol ekonomi sosialis melalui sebuah proses liberalisasi yang dimulai pada awal tahun 1990-an telah menciptakan tidak hanya tersedianya berbagai lapangan kerja baru di bidang manufaktur dan teknologi, tetapi juga meningkatnya reputasi berbagai lembaga tinggi pendidikan di bidang IT dan manajemen. Di samping itu, pengelolaan institusi-institusi swasta tidak lagi dipersulit oleh campur tangan pemerintah yang selama ini dirasa cukup dominan.

Kedua, terjadinya reversed brain drain di India disebabkan pula akibat melemahnya kondisi perekonomian di Amerika Serikat sendiri. Kondisi tersebut menyebabkan banyaknya perusahaan yang menutup aktivitasnya, termasuk memutuskan hubungan kerja dengan para tenaga ahlinya. Guna mengatasi masalah ini, Amerika mulai mengeluarkan kebijakan outsourcing dengan mencari tenaga-tenaga ahli yang lebih murah namun mempunyai kemampuan yang tinggi, salah satunya dengan memanfaatkan pengeluaran visa H-1B. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh para profesional dan pebisnis asal India. Mereka berduyun-duyun kembali ke negaranya sebagai fasilitator antara tenaga ahli yang berada di India dengan jaringan pasar internasional. Booming besar berikutnya terjadi ketika India menciptakan kota-kota IT yang diberi nama Indian Silicon Valley yang berpusat di Bangalore, di mana perusahan-perusahaan sekelas Hawlett-Packard, IBM, dan Microsoft mulai membuka laboratorium riset secara khusus di wilayah tersebut. Hasilnya yaitu penciptaan kekuataan baru para pekerja transnasional di berbagai sektor ekonomi, penguatan infrastruktur fisik dan sosial di Bangalore dan sekitarnya, serta penempaan dan penguatan hubungan transnasional antara India dan Amerika Serikat.

Ketiga, kesuksesan India menarik kembali para ilmuwannya tidak terlepas dari jaringan diaspora yang selama ini dapat terus mereka pertahankan, baik diaspora yang bersifat keilmuan maupun diaspora yang bersifat komunitas kemasyarakatan. Beberapa diaspora keilmuan utama yang mereka miliki misalnya, Silicon Valley Indian Professional Association (SIPA), Worldwide Indian Network, The International Association of Scientists and Engineers and Technologist of Bharatiya Origin, dan Interface for Non Resident Indian Scientists and Technologist Programme (INRIST). Dari sinilah mereka memperoleh sumber potensi yang sangat besar dalam menjalankan kerjasama secara efektif dan menguntungkan kedua belah pihak antara negara India sebagai negara berkembang dengan berbagai negara industri maju lainnya.

Keuntungan dari terjadinya reversed brain drain tersebut, terhitung dalam lima belas tahun terakhir ini, industri teknologi India mulai berkembang menjadi teknologi kualitas tinggi dengan pertumbuhan dari US$ 150 juta menjadi US$ 3,9 miliar dalam hal penjualan. India saat ini juga telah mengekspor produksi piranti lunak ke hampir 100 negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di benua Eropa. Meningkatnya ikatan rasa emosional dan budaya terhadap tanah kelahiran India menjadi modal tambahan meluasnya kesempatan bagi para profesional India. Begitu pula dengan kesempatan bekerja di dalam negeri yang tidak kalah bersaing dengan perusahan-perusahaan terkenal lainnya di luar negeri. Sebagai contoh, salah satu tamatan terbaik Indian Institute of Management (IIM) di Bangalore memperoleh tawaran kerja dari Barclays Capital dengan gaji sekitar US$ 193.000 per tahun, atau lulusan Indian School of Business (SIB) di Hyderabad biasanya memperoleh tawaran kerja dari perusahaan India dengan gaji rata-rata sekitar US$ 200.000 per tahun. Belum lagi tawaran-tawaran dari perusahan besar seperti Goldman Sachs, BNP Paribas, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Deutsche Bank, J.P. Morgan, McKinsey, Bain & Co. Boston Consulting Group, A.T. Kearney and Diamond Cluster, serta sederet perusahaan berkelas lainnya.

Beberapa tahun terakhir ini, India bukan saja mengalami reversed brain drain, akan tetapi kini mereka diuntungkan dengan terciptanya brain gain dari negara-negara lainnya. Meledaknya perekonomian India memicu sedikitnya puluhan tenaga ahli dari negara-negara Eropa, seperti Swedia, Norwegia, Perancis, Jerman, Swiss dan Inggris untuk berkerja pada industri teknologi di kawasan industri Okhla, New Delhi, India. Lebih dari itu, survey yang dilakukan di Inggris pada tahun 2005 menyimpulkan bahwa para lulusan Inggris tengah mempersiapkan dirinya untuk mengisi 16.000 lowongan pekerjaan pada Indian call-center di tahun 2009 mendatang. Bahkan dalam laporan tersebut disampaikan bahwa seorang lulusan sarjana dari Skotlandia rela untuk melepaskan pekerjaannya dari Sky Television dengan gaji £21.000 per tahun untuk kemudian bekerja pada Indian call-center.

Terjadinya reversed brain drain di India tidak dapat dipisahkan dari peran dan keuntungan yang diperoleh dari adanya diaspora India. Diaspora ini tersebar ke berbagai belahan dunia sebagai silent networking. Sekitar 20 juta orang yang tergabung dalam komunitas elektik ini tumbuh dan berkembang sebesar 10% setiap tahunnya, sehingga menempatkan komunitas ini sebagai diaspora terbesar di dunia setelah Cina dan Inggris. Setidaknya terdapat lebih puluhan ribu warga negara India yang menempati 48 negara di seluruh dunia. Meskipun mendiami negara dan bahasa yang berbeda-beda, diaspora India mempunyai identitas yang sama dengan negara asalnya, yaitu suatu kesadaran akan warisan kebudayaan dan ikatan emosional yang sangat kuat terhadap garis keluarga dan negara asalnya. Dalam dua dekade terakhir, diaspora India telah mengalami perubahan, yaitu dari para imigran biasa menjadi pemegang peranan kunci pada posisi penting di bidang politik, lembaga universitas, dan sektor industri. Mereka menempati pos-pos penting sebagai pemimpin terpilih, politisi, profesor, dan status profesional lainnya. Beberapa contoh terbaiknya yaitu Bharrat Jagdeo, Presiden Guayana yang beraliran sosialis; anggota Kongres di Amerika Serikat; anggota parlemen di Kanada; serta penerima Nobel Ekonomi, Amartya Sen.

Terhadap gambaran di atas, dalam lingkup diaspora India, migrasi warga India kini tidak lagi menyebabkan terjadinya brain drain melainkan justru menjadi elemen awal terciptanya brain gain. Selain itu, anggota dari diaspora India yang tergabung dalam NRI dan PIO juga telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan di India. Diaspora India juga merupakan komunitas yang berharga dalam memberikan kontribusi terhadap meningkatnya hubungan India-Amerika, sehingga hal tersebut menghasilkan keuntungan ganda bagi negaranya. Dengan terbuktinya keunggulan dari jaringan diaspora terhadap pertumbuhan dan perkembangan negara India, fenomena mengenai brain drain dan migrasinya tenaga ahli telah berubah menjadi mantra brain gain. Oleh karenanya, diaspora semacam ini patut menjadi perhatian khusus bagi kita semua, terutama mengenai kuatnya keterikatan mereka dengan keluarga dan negara asalnya. (Pan Mohamad Faiz: KIPI 2007)

5. Kesimpulan

Tingginya laju arus tenaga ahli dari negara berkembang ke negara-negara yang lebih maju (brain drain) menjadi salah satu alasan yang menunjukkan lemah dan kurang tepatnya strategi kebijakan dan pandangan dalam menumbuhkan khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi secara adil dan memadai serta kebijakan-kebijakan yang kurang mendukung para tenaga ahli.

Dengan adanya dampak-dampak negatif serta adanya faktor-faktor pendorong dan penarik dari peristiwa brain drain di atas, maka perlu adanya usaha-usaha yang dilakukan negara-negara berkembang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga arus brain drain diharapkan dapat ditekan seminimum mungkin. Banyak sekali cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah brain drain, di atas kita telah melihat sebuah negara yaitu India yang telah mampu mengubah brain drain menjadi brain gain. Selain hal-hal di atas yang diterapkan oleh India, masih banyak lagi hal-hal yang bisa dilakukan oleh negara-negara berkembang agar arus brain drain dapat diatasi. Sehingga negara asal tidak akan dirugikan terus.

Untuk itu, guna memperoleh pergerakan asimetris arus dan distribusi tenaga ahli secara global, negara-negara berkembang harus berani dan kreatif dalam mengimplentasikan strategi yang didukung secara penuh oleh kebijakan dalam negeri. Cara-cara ataupun usaha-usaha yang bisa dilakukan antara lain:

  1. upah/gaji disamakan, tidak ada diskriminasi. Yaitu dengan membangun sistem remunerasi yang fair. Contoh paling sederhana dan konkret, untuk posisi tertentu dengan tugas dan tanggung jawab yang tertentu pula, tak perlu lagi dibeda-bedakan antara gaji (profesional lokal) dengan gaji ekspatriat yang biasanya dibayar jauh lebih mahal. Karena dengan sistem remunerasi yang baik, menurut berbagai penelitian, juga terbukti mampu mendorong semangat kerja, memacu produktivitas, serta melecut kreativitas karyawan di semua level organisasi.
  2. Sistem pendidikan ditingkatkan. Yaitu dengan menyediakan kesempatan pendidikan berkelas dunia (dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi harus mampu bersaing dengan pendidikan negara-negara luar yang sudah maju), membangun penelitian ilmu pengetahuan dan pengembangan industri. Selian itu, juga mengimplentasikan rancang-bangun pendidikan yang dapat mendukung dan memelihara pengembangan inti ilmu pengetahuan melalui program dalam negeri dan pelatihan luar negeri yang lebih terarah dan terencana. Pemenuhan target program pendidikan dasar bagi seluruh warga negara, investasi pada infrastruktur untuk penelitian, pengembangan dan penciptaan kondisi yang dapat menunjang tumbuhnya sektor publik maupun swasta dalam lingkup hasil penelitian, serta pengembangan teknologi dan inovasi merupakan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam kondisi sekarang ini. Oleh sebab itu, guna mewujudkan langkah-langkah strategis di atas, kerjasama antara pemerintah dengan sektor swasta harus pula dijalankan secara optimal. Beberapa negara besar telah berhasil menunjukkan bahwa diaspora ilmu pengetahuan (scientific diaspora) dapat bekerja sangat efektif, terutama untuk memanfaatkan efek negatif dari terciptanya arus brain drain. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, India dapat menjadi gambaran bagi negara berkembang bahwa upaya dalam melakukan penelitian dalam negeri sangat ditopang dan dibantu dengan adanya aktivitas jaringan sejagat (global network) dari para peneliti yang tinggal di luar negeri. Oleh karena itu, diaspora negara berkembang yang telah ada harus pula didukung agar mampu melakukan transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technology transfer) secara bertahap.
  3. Kesiapan pemerintah menampung mereka di segala bidang. Yaitu dengan menyiapkan sarana dan prasarana serta fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh para tenaga ahli. Pemerintah harus menyediakan kesempatan kerja di segala bidang, sehingga ilmu dan keterampilan yang mereka dapatkan bisa diimplementasikan di negaranya sendiri dan tidak sia-sia. Sehingga mereka tidak akan berpikir untuk lari ke luar negeri.
  4. Pemerintah harus mengadakan perjanjian dengan para braindrainer. Misalnya di Singapura, para braindrainer diwajibkan bekerja minimal 2 – 3 tahun di negara tujuan, setelah itu mereka harus kembali ke negara asal untuk menerapkan ilmu dan keterampilan yang telah diperoleh di negara tujuan. Di Kuba, adanya subsidi belajar ke luar negeri bagi mereka yang pandai dan berminat, namun setelah selesai/lulus mereka harus kembalidan mempraktekan ilmunya di dalam negeri. Dan di indonesia, adanya denda pengembalian uang beasiswa jika dalam waktu yang ditentukan mereka tidak kembali ke Indonesia.
  5. dalam bidang investasi, untuk menciptakan ekonomi yang mandiri dengan memperkenalkan konsep ‘Investor Amfibi’ yang banyak meminjam dasar-dasar ilmu Teknologi Informasi, dimana kegiatan investasi di negara berkembang dapat dijalankan oleh para alumninya hasil pendidikan luar negeri secara remote (jarak jauh), mobile (berpindah-pindah tempat), dan adaptable (mudah beradaptasi), sekaligus menghimbau kepada mereka yang sudah memilih berkiprah di luar untuk tidak ragu-ragu dengan pilihannya sembari terus mengabdi bagi negeri. Serta dibahas pula mengenai peluang, resiko dan tantangan bagi calon investor jarak jauh yang ingin menanamkan modalnya di negara asal, dan pemikiran tentang bagaimana investasi hasil pendanaan luar negeri tersebut dapat memberikan manfaat domino effect bagi sumber-sumber daya lainnya di negara asal dan memacu percepatan perputaran roda ekonomi mandiri secara keseluruhan, yang kesemuanya dilakukan secara kompak dan berkesinambungan oleh insan-insan bangsa baik yang di dalam maupun yang di luar negeri. (Dipto Harendra Pratyaksa: KIPI 2007)
  6. Pemerintah negara asal harus memberikan penghargaan yang sesuai dengan kualitas yang dimiliki oleh para braindrainer.
  7. Memperbolehkan sebagian orang-orang berkualitasnya untuk hijrah ke negara lain, namun ada perjanjian dengan mereka. Yaitu mereka di sana diberi tugas mencari iformasi-informasi tentang perkembangan perkonomian, dunia usaha, dan sosial budaya yang berkembang disana. Sehingga negara asal dapat mengikuti perkembangan yang ada, dan akhirnya diharapkan mampu bersaing dengan negara-negara luar yang sudah maju.

Dengan upaya-upaya maupun usaha-usaha di atas, apabila berhasil dan sukses diterapkan/dilaksanakan, maka diharapkan dapat menciptakan sebuah reversed brain drain. Dimana dengan terciptanya reversed brain drain ini akan dapat memacu produktifitas perekonomian negara asal, serata juga dapat memperluas jaringan perekonomian dengan para braindrainer sebagai penghubung antara negara maju dan negara berkembang (negara asal). Dengan ini maka dampak positif akan tercipta, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sehingga pembangunan nasional negara asal dapat tercapai sesuai yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal :

Badrawani, Wishnu. 2007. Brain Drain Hari Ini, Mungkin Cikal Bakal Brain Gain di Hari Esok. Makalah Disampaikan Pada Konferensi International Pelajar Indonesia (Kipi) 2007 Sydney, Australia – 9 September 2007.

Faiz, Pan Mohamad. 2007. Brain Drain Dan Sumber Daya Manusia Indonesia: Studi Analisa Terhadap Reversed Brain Drain Di India. Makalah Disampaikan Pada Konferensi International Pelajar Indonesia (Kipi) 2007 Sydney, Australia – 9 September 2007.

Ivannanto, Ananda Setiyo & Pratama , Anindita Aji. 2007. Penguatan network Pengusaha Indonesia antar negara guna memasarkan komoditas unggulan daerah ke negara lain. Makalah Disampaikan Pada Konferensi International Pelajar Indonesia (Kipi) 2007 Sydney, Australia – 9 September 2007.

Molasy, Honest Dody. 2007. Pragmatisme vs Nasionalisme. Makalah Disampaikan Pada Konferensi International Pelajar Indonesia (Kipi) 2007 Sydney, Australia – 9 September 2007.

Pratyaksa, Dipto Harendra. 2007. Investor Amfibi: Bekerja Keras di Luar Negeri untuk Membangun Investasi Mandiri di Indonesia. Makalah Disampaikan Pada Konferensi International Pelajar Indonesia (Kipi) 2007 Sydney, Australia – 9 September 2007.

Saputra, Dedy. 2007. Peran Lulusan Pendidikan Luar Negeri dalam Pembangunan Iptek Nasional. Makalah Disampaikan Pada Konferensi International Pelajar Indonesia (Kipi) 2007 Sydney, Australia – 9 September 2007.

Sarosa, Wijayono. 2007. Braindrain di Sektor Pertambangan dan Energi. Makalah Disampaikan Pada Konferensi International Pelajar Indonesia (Kipi) 2007 Sydney, Australia – 9 September 2007.

Buku :

Krugman, Paul R and Obstfeld, Maurice. 1991. Ekonomi Internasional: Teori Dan Kebijakan. Rajawali Pers: Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad. 2001. Analisis Spasial Dan Regional: Studi Aglomerasi Dan Kluster Industri Indonesia. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Nopirin, Ph.D. 1995. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE.

Tjiptoherijanto, Prijono. dkk. 1982. Sumber Daya Manusia, Kesempatan Kerja Dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Todaro, Michael P. 1994. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Artikel :

Alhumami, Amich. 2007. Membendung “Brain Drain”. KOMPAS: Kamis, 04 Oktober 2007.

Djatmiko, Harmanto Edy. Awas, Arus Brain Drain Makin Deras! Swamajalah. 15 Februari 2007.

Dr. Is Helianti, MSc. Monday, 01 August 2005. Brain Drain. Peneliti pada Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Bioindustri, BPPT.

Effendi, Suchjar, dkk. Desember 2006. Braingain Untuk Memperkuat Otonomi Daerah. Bogor. WUS Komite Indonesia.

Santosa, Eddi. Laporan Dari Den Haag: Brain Drain Ke Negara Maju Terus Meningkat. Detikcom. 20 Juli 2007.